Persaingan Bisnis Media Massa

Gambar

Apabila kita berbicara mengenai persaingan media massa secara global memang sungguh luar biasa. Banyak riset dan inovasi baru bermunculan di bisnis tersebut. Karena persaingan memang sangat ketat. Berbicara mengenai masalah aktual semua media ingin menyampaikan yang paling aktual, dan berbicara mengenai eksklusifitas semua media berlomba-lomba untuk menjadi yang paling baik dan ekslusif.

Konglomerasi Media Massa

Fenomena yang menarik di dunia media massa Indonesia adalah konglomerasi media atau penguasaan beberapa media di tangan seseorang atau kelompok. Di negara maju sendiri fenomena tersebut sudah berlangsung lama dan luar biasa. Dari sebuah film dokumenter karya Robert Greenwald yang berjudul “Outfoxed: Rupert Murdoch’s War on Journalism”, diketahui kekaisaran bisnis media Murdoch merengkuh 300 lebih saluran televisi, puluhan perusahaan film dan jaringan gedung bioskop dan tiga korporasi penerbit besar, Zondervan Christian Publisher, Harper Collins dan Reagen Books.

Memang apabila di pikirkan konglomerasi media akan sangat berbahaya, karena seseorang mengendalikan banyak media. Media sendiri merupakan alat kekuasaan yang sangat berbahaya apabila dipegan oleh orang yang salah. Di Indonesia sendiri mulai ada kecenderungan tersebut contohnya Media Citra Nusantara (MNC) yang menguasai siaran RCTI, TPI, dan Global TV. Atau pun media group yang terdiri dari Media Indonesia dan Metro TV. Dapat kita lihat pada Pemilu Presiden tahun 2004 Surya Paloh sang pemilik Media Group benar-benar diuntungkan dengan media yang ia miliki saat kampanye.

Dominasi kepentingan bisnis dalam media ini tak lepas dari kecenderungan kapitalisasi yang kuat di media. Kapitalisasi yang berakar dari materialisme itu menggambarkan bagaimana para jutawan semakin ambisius menggenggam dunia di saku bisnisnya: menuju monopoli kekuatan ekonomi. Bagaimana bentuk kapitalisasi media? Banyak media dijalankan dengan hanya berprinsip: yang penting untung! Laba menjadi kata kunci. Bagi media seperti ini, misi utamanya adalah berbisnis. Sehingga tugas media lainnya seperti pendidikan dan kontrol sosial tersisihkan.

Saat ini media memang menjadi lahan bisnis yang menggiurkan. Banyak orang kaya tertarik menanamkan modal dalam bisnis media. Apalagi, seperti di Indonesia sekarang ini, dengan sangat mudah seseorang bisa membuat koran atau majalah. Globalisasi dan modernisme juga memberi jalur cepat bagi pemilik modal dari luar negeri untuk masuk ke bisnis media sebuah negara. Suntikan dana dari raja media dunia, Rupert Murdoch, ke stasiun ANTV salah satu contohnya.
Akibat yang tidak disukai dari begitu kuatnya pengaruh bisnis dalam pengelolaan media adalah biasnya media dalam menjalankan fungsinya. Bias yang dimaksud dalam bentuk tidak fokusnya media pada peran kontrol sosialnya. Bias-bias seperti itu sangat mungkin terjadi, apalagi bagi media yang dimiliki orang yang berlatarbelakang bukan dari lingkungan media serta dekat dengan kekuatan politik dan pemerintah berkuasa. Kedekatan tersebut terbukti sangat memengaruhi kebijakan redaksional media. Jika politikus atau penguasa merasa diberitakan negatif maka mereka akan bermain di level pemilik media untuk mengintervensi redaksi.

Munculnya “Jurnalisme Online” dan “Citizen Journalism”

Jurnalisme online adalah perubahan baru dalam ilmu jurnalistik. Laporan jurnalistik dengan menggunakan teknologi internet maka disebut dengan media online yang menyajikan informasi cepat dan mudah diakses dimana saja. Hampir setiap orang di dunia pernah membuka sebuah media online. Karena bisa dibilang lebih ringkas dan cepat dalam memperoleh informasi. Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia seirng dengan perkmebangan zaman membuat sebuah perubahan besar dalam dunia jurnalistik. Khususnya media jurnalistik online yang semakin berkembang dan merambah hampir ke seluruh dunia. Mudah sekali bagi setap orang untuk mendapatkan berita terhangat dengan manggunakan internet.

 Di Indonesia, media online menjadi trend belakangan ini. Sebagai contoh, media online detik.com di Indonesia yang telah sukses menyajikan ragam berita, selain itu kantor berita Nasional Antara juga menggunakan teknologi internet. Dengan lahirnya media online maka media cetak pun tidak mau kalah, dengan dua penyajian media cetak dan media online seperti kompas.com, temporaktif.com, republika.com, pikiran-rakyat.com, klik-galamedia.com. dan masih banyak lagi. Itu adalah langkah baru berkembangnya teknologi yang telah melahirkan jurnalisme online.

Media internet sendiri, sebagai suatu media baru (new media), pada gilirannya juga telah menghadirkan sekian macam bentuk jurnalisme yang sebelumnya tidak kita kenal. Salah satunya adalah yang kita sebut sebagai “jurnalisme warga” (citizen journalism).

Dengan biaya relatif murah, kini setiap pengguna Internet pada dasarnya bisa menciptakan media tersendiri. Mereka dapat melakukan semua fungsi jurnalistik sendiri, mulai dari merencanakan liputan, meliput, menuliskan hasil liputan, mengedit tulisan, memuatnya dan menyebarkannya di berbagai situs Internet atau di weblog yang tersedia gratis.

Dengan demikian, praktis sebenarnya semua orang yang memiliki akses terhadap Internet sebenarnya bisa menjadi “jurnalis dadakan,” meski tentu saja kualitas jurnalistik mereka masih bisa kita perdebatkan. Yang jelas, orang tidak dituntut harus lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi atau sekolah jurnalistik, untuk menjadi “jurnalis dadakan” di dunia maya.

Suka atau tidak, tren munculnya “jurnalisme warga” dan “jurnalis dadakan” semacam ini tampaknya makin kuat. Sebagai catatan, seingat saya, berita pertama soal bencana Tsunami di Aceh, pada Desember 2005 lalu, justru muncul dan diketahui publik lewat blog pribadi di Internet. Jadi, tidak melalui saluran-saluran media yang konvensional.

Dengan demikian, kehadiran “jurnalisme warga” ini juga telah menjadi tantangan bagi jenis “jurnalisme mapan,” yang diterapkan di media-media konvensional, seperti: suratkabar, majalah, radio, dan televisi.